Ninik Sri Widayati
“Menulislah agar dipahami, berbicaralah agar didengar, dan membacalah agar menjadi besar.”
Membaca
buku itu penting! Ini semua orang tahu, dan pasti setuju. Oleh sebab
itu menjadi sangat beralasan, mengenalkan buku dan kegiatan membaca pada
anak-anak. Karena dengan kebiasaan dan kecintaan membaca sejak dini,
ketika mempelajari apapun akan menjadi lebih mudah. Semakin tinggi
kemampuan dan kecintaan terhadap kegiatan membaca, akan semakin tinggi
pula tingat kesenangan dan kegembiraan anak-anak ketika belajar. Mereka
akan lebih mudah memahami setiap pelajaran di sekolah. Yang pada
gilirannya akan meningkatkan prestasi akademik.
Berdasarkan
riset lima tahunan pada 2006 yang dikeluarkan oleh Progress in
International Reading Literacy Study, yang melibatkan siswa sekolah
dasar (SD), menempatkan Indonesia pada posisi 36 dari 40 negara yang
dijadikan sampel penelitian. Indonesia hanya lebih baik dari Qatar,
Kuwait, Maroko, dan Afrika Selatan. Sementara itu, berdasarkan
penelitian Human Development Index (HDI) yang dikeluarkan oleh UNDP
untuk melek huruf pada 2002 menempatkan Indonesia pada posisi 110 dari
173 negara. Posisi tersebut kemudian turun satu tingkat menjadi 111 di
tahun 2009.
Data-data
tersebut tampaknya akan terus memburuk mengingat minimnya infrastruktur
dan perhatian yang ada saat ini, seperti terbatasnya jumlah bacaan yang
tersedia dan jumlah guru. Berdasarkan data CSM, yang lebih menyedihkan
lagi perbandingan jumlah buku yang dibaca siswa SMA di 13 negara,
termasuk Indonesia. Di Amerika Serikat, jumlah buku yang wajib dibaca
sebanyak 32 judul buku, Belanda 30 buku, Prancis 30 buku, Jepang 22
buku, Swiss 15 buku, Kanada 13 buku, Rusia 12 buku, Brunei 7 buku,
Singapura 6 buku, Thailand 5 buku, dan Indonesia 0 buku.
Pengertian Literasi
Secara
sederhana, literasi dapat kita artikan sebagai kemampuan membaca dan
menulis atau melek aksara. Dan menurut Ahmad Bukhori (dosen UI), Dalam
konteks kekinian, literasi memiliki arti yang sangat luas. Literasi bisa
berarti melek teknologi, politik, berpikiran kritis, dan peka terhadap
lingkungan sekitar.
Sedangkan Kirsch dan Jungeblut dalam buku Literacy: Profiles of America’s young adults (dalam Ahmad Bukhori) mendefinisikan bahwa literasi kontemporer sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan pengetahuan sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Lebih jauh, seorang baru bisa dikatakan literat jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman bacaannya.
Konsep
maupun praksis literasi fungsional baru dikembangkan pada dasawarsa
1960-an (Sofia Valdivielso Gomez, 2008). Literasi dipahami sebagai
”seperangkat kemampuan mengolah informasi, jauh di atas kemampuan
mengurai dan memahami bahan bacaan sekolah” (A Campbell, I Kirsch, A
Kolstad, 1992). Melalui pemahaman ini, literasi tidak hanya membaca dan
menulis, tetapi juga mencakup bidang lain, seperti matematika, sains,
sosial, lingkungan, keuangan, bahkan moral (moral literacy).
Dalam keterkaitan konsepsi membaca sering dihubungkan dengan menulis dan ini bisa disebut juga dengan literasi. Literasi adalah kemampuan membaca dan menggunakan informasi tertulis dan menulis tepat dalam berbagai konteks. Literasi melibatkan gabungan antara berbicara, mendengarkan, berpikir kritis dengan membaca dan menulis. Nah, dari beberapa definisi di atas, kini menjadi semakin jelas bahwa budaya literasi itu begitu penting kita bangun.
Kondisi Perpustakaan Sekolah di Indonesia
Dari
fakta temuan PIRLS kita dapat menyimpulkan beberapa hal yang
menyebabkan hal ini dapat terjadi. Realitas pertama dari fakta rendahnya
minat baca anak Indonesia adalah kualitas perpustakaan yang masih jauh
dari memadai ditiap sekolah. Berdasarkan data terakhir, di Indonesia
terdapat 169.031 Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah. Artinya, jika
tiap sekolah memiliki satu perpustakaan, seperti yang diamanahkan oleh
UU Nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan, maka ada 169.031
perpustakaan. Hingga tahun 2011, Kementerian Pendidikan Nasional
mencatat 55,39 persen SD belum memiliki perpustakaan sekolah. Dari
143.437 SD, ada 79.445 sekolah belum punya perpustakaan. Adapun di SMP,
39,37 persen sekolah (13.558 dari 34.511 sekolah) tidak punya
perpustakaan.
Perpustakaan
sekolah yang ada pun belum memadai, baik dari segi ruangan, koleksi,
hingga kegiatan. Jika kondisi ideal perpustakaan dapat terwujud, tentu
anak-anak akan memperoleh kemudahan dalam mengakses bahan bacaan. Dan
pasti hasil riset PIRLS akan berbicara lain. Kondisi perpustakaan ini
juga baru sebatas jumlah dan belum menyangkut seberapa banyak koleksi
buku yang dipunyai. Apakah keragaman bacaan yang dimiliki sudah cukup
memenuhi harapan pemustaka. Bagaimana kondisi fisik perpustakaan
(sarana), dan prasarana lainya (buku, rak buku, sistem pengolahannya).
Sekaligus apakah petugas yang mengelola perpustakaan adalah pustakawan,
atau sekadar guru non job yang dikaryakan. Sehingga perpustakaan yang
ada sekadar menjadi tempat buku-buku berhimpun, bertumpuk-tumpuk, kumal,
terselimuti debu tebal.
Realita
kedua dari fakta rendahnya minat baca anak Indonesia adalah karena
tidak ada integrasi yang nyata, jelas, dan tegas antara matapelajaran
yang diberikan dengan kewajiban siswa untuk membaca. Siswa tidak diberi
keleluasaan dan kebebasan untuk mencari sumber pembelajaran di luar buku
teks yang digunakan oleh guru. Satu contoh sederhana, kita tidak
memiliki standar minimal tentang bacaan wajib buku yang harus
dikhatamkan siswa di tiap jenjang pendidikan, entah itu berdasarkan
jumlah (quantity) maupun judul-judul tertentu (quality). Alih-alih
secara bertahap dan rutin ada pengecekan tingkat kemajuan bacaan siswa,
baik yang menyangkut bacaan yang diwajibkan (required reading), bacaan
yang dianjurkan (recommended reading), dan bacaan menyangkut pengetahuan
umum (general knowledge).
Realita
ketiga, rendahnya minat baca anak Indonesia karena, pengalaman
pra-membaca dan membaca (berkenalan dengan buku) yang dialami anak
kurang menyenangkan/tidakmenarik, jika enggan menyebutnya buruk. Bahkan
menimbulkan pengalaman yang traumatik.
Biasanya
mereka dikenalkan pada buku untuk pertama kalinya adalah berupa buku
pelajaran yang tebal (menurut ukuran anak), sudah begitu, isinya melulu
tulisan, ukuran hurufnya pun kecil-kecil, tidak ada gambarnya lagi.
Tentu saja keharusan membaca buku yang demikian, laksana menyuruh anak
untuk membenci buku secara berjamaah. Namun giliran anak-anak tengah
mendapatkan keasyikan membaca buku, meskipun dalam bentuk komik atau
cergam (cerita bergambar), buru-buru—terutama para orangtua—melarang
keras, disertai semburan kata ancaman. Difatwakan pada anak-anak bahwa
membaca komik dan cergam hanya akan membuat si anak malas belajar dan
bodoh. Padahal komik bisa menjadi pintu masuk bagi anak untuk
mengembangkan imajinasi, serta ragam bacaannya ke tingkat yang lebih
luas dan tinggi. Karena apa yang dibaca sesungguhnya mengikuti
perkembangan wawasan, cara berfikir, dan kebutuhan pembacanya.
Membangun Budaya Membaca
Lalu
bagaimana cara meningkatkan minat baca peserta didik kita. Ibarat
pepatah banyak jalan menuju Roma, terdapat banyak cara meningkatkan
minat siswa untuk membaca. Semuanya tergantung pada kreatifitas guru dan
dukungan komponen-komponen lain disekolah seperti kepala sekolah,
karyawan dan orang tua siswa. Berikut beberapa cara untuk meningkatkan
minat baca siswa dengan berbagai macam kegiatan yang rekreatif dan
mendidik:
1. Penciptaan
atmosfir kelas yang mendukung dengan menempel pajangan hasil karya
siswa dengan rapi serta slogan-slogan ajakan agar siswa gemar membaca.
2. Penyediaan
buku-buku bacaan yang memadai, baik dari segi kuantitas judul buku
maupun kualitas buku di perpustakaan dan setiap ruang kelas.
3. Tersedianya
tempat koran, sebagai media rekreatif setelah siswa penat dengan
pelajaran sehari-hari sehingga media koran/surat kabar dapat dijadikan
sebagai alternatif media belajar dan ilmu pengetahuan.
4. Menggalakkan
lomba sekolah bertemakan kegiatan menulis, seperti; mengadakan lomba
sinopsis, karya tulis, cerpen dan lain sebagainya.
5. Membuat
jadwal kunjungan ke perpustakaan, misalnya setiap hari rabu kelas 5 dan
6 diwajibkan berkunjung ke perpustakaan untuk mengerjakan tugas yang
diberikan oleh guru. Dalam hal ini pustakawan berperan aktif sebagai
pustakawan referens. Jika, siswa ada yang bertanya tentang referensi
sebuah mata pelajaran.
6. Mewajibkan
semua siswa, guru, dan karyawan sekolah untuk membudayakan membaca, dan
membuat slogan-slogan di kelas seperti “Tiada Hari Tanpa Membaca”,
“Gunakan waktu luang untuk membaca”, dan “Buku adalah jendela ilmu
pengetahuan”. Dengan membuat kegiatan yang bersifat rekreatif dan
edukatif diharapkan dapat membangun minat baca di kalangan siswa
sekolah.
Sekolah yang
dapat menumbuhkembangkan minat baca anak, tentunya adalah sekolah yang
di dalamnya tercipta situasi pembelajaran yang menyenangkan,
menumbuh-kembangkan rasa ingin tahu, mengaktifkan siswa, memberi
kesempatan kepada mereka untuk berpikir kritis dan logis serta untuk
mengembangkan kreativitasnya, dan yang memungkinkan mereka belajar
secara efektif.
Sebagaimana
kita ketahui, perkembangan minat baca anak tidak hanya ditentukan oleh
keinginan dan sikapnya terhadap bahan-bahan bacaan. Banyak faktor yang
mempengaruhi, baik itu di dalam diri anak maupun di luar diri anak.
Faktor yang mempengaruhi di luar diri anak antara lain kurangnya
perhatian orang tua terhadap perkembangan minat baca anak-anaknya.
Bahkan di sekolah dan perguruan tinggi banyak tenaga kependidikan yang
kurang memperhatikan perkembangan minat baca peserta didiknya. Faktor
lain yang juga turut mempengaruhi adalah terbatasnya jumlah karya cetak,
khususnya buku yang diterbitkan baik jumlah eksemplarnya maupun
judulnya sesuai dengan kebutuhan anak.
Kepedulian
bersama menjadi kata kunci terakhir bagaimana meningkatkan minat baca
anak di tengah derasnya arus hiburan saat ini. Sebab tanpa itu semua,
minat baca sebagai keterampilan yang diperoleh setelah seseorang
dilahirkan mustahil akan muncul jika kita bersama tidak memupuk, membina
dan mengembangkannya
Daftar Pustaka:
- Agus M. Irkham. 2010. Minat Baca Anak Indonesia. Sumber: http://www.indonesiamembaca.org/ diakses 25 April 2011
- Lasa Hs. 2005. Gairah Menulis: Panduan Untuk Pemula. Yogyakarta: Alenia